Dengan dikeluarkannya Permendes 8/2023, ketentuan mengenai pungutan desa yang sebelumnya diatur dalam Permendes 1/2015 DICABUT dan dinyatakan TIDAK BERLAKU LAGI. Pencabutan ini membawa potensi implikasi pada cara desa mengelola pungutan. Mari kita telaah apa arti pencabutan ini bagi desa-desa di seluruh Indonesia.
Daftar Isi:
- Apa itu Permendes 1/2015?
- Apa Dampaknya bagi Desa?
- Apa yang Harus Dilakukan Desa?
- Usulan Revisi Permendagri 44/2016
- Kesimpulan
Apa itu Permendes 1/2015?
Permendes 1/2015 merupakan peraturan yang dikeluarkan Menteri Desa PDTT yang mengatur pedoman kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, termasuk dalam hal ini ketentuan mengenai pungutan desa. Berdasarkan Pasal 23, Permendes 1/2015 MELARANG desa untuk memungut biaya atas jasa layanan administrasi seperti surat keterangan, surat pengantar, dan surat rekomendasi.
Pasal 23:
“(1) Desa dilarang melakukan pungutan atas jasa layanan administrasi yang diberikan kepada masyarakat Desa.
(2) Jasa layanan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. surat pengantar;
b. surat rekomendasi; dan
c. surat keterangan.”
Namun, Permendes 8/2023 mencabut ketentuan tersebut, menyatakan bahwa Permendes 1/2015 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Ini berarti bahwa LARANGAN pungutan untuk jasa administrasi yang sebelumnya berlaku kini tidak lagi ada.
Apa Dampaknya bagi Desa?
1. Kelonggaran Pungutan Desa
Pencabutan Permendes 1/2015 memberikan fleksibilitas atau kelonggaran lebih besar bagi daerah dan desa dalam menentukan jenis dan objek pungutan desa. Ini sesuai dengan prinsip oportunitas dalam hukum administrasi yang memberi wewenang kepada desa untuk mengelola sumber daya dan pungutan sesuai dengan kebutuhannya. Namun, fleksibilitas ini harus diimbangi dengan asas legalitas, yang menyatakan bahwa segala tindakan pemerintah harus didasarkan pada hukum yang berlaku.
2. Permendagri dan Peraturan Daerah sebagai Rujukan
Meskipun ada pencabutan, peraturan desa (Perdes) tentang pungutan desa tetap harus merujuk pada Permendagri dan Peraturan Bupati (Perbup) atau Peraturan Daerah (Perda) yang ada. Artinya secara argumentum a fortiori, jika perbup atau perda di wilayah Anda mengatur secara eksplisit bahwa pungutan atas jasa administrasi TIDAK DIPERBOLEHKAN, maka Perdes harus mengikuti aturan tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 37 Permendagri 44/2016, yang mengatur bahwa desa dapat melaksanakan pungutan sesuai dengan kewenangan desa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait teknis pengaturan kewenangan desa dalam lingkup desa, pelajari Contoh Perdes tentang Kewenangan Desa
Kendati pun Permendagri 44/2016 tidak secara eksplisit menjelaskan mengenai pungutan atas jasa administrasi, namun dengan pengaturan yang jelas melalui Perbup/Perda dapat mencegah potensi ketidakadilan yang mungkin timbul dari ketidakjelasan aturan. Jika objek pungutan tidak diatur dengan jelas, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, maka pemerintah desa bisa saja memberlakukan pungutan pada layanan yang seharusnya diberikan secara gratis, yang dapat menimbulkan ketidakpuasan dan beban tambahan bagi masyarakat.
3. Potensi Perubahan Perdes
Jika Perda atau Perbup melarang pungutan atas jasa administrasi, perubahan Perdes yang mengizinkan pungutan atas administrasi tersebut bisa menyebabkan konflik hukum. Karena itu, Desa harus memastikan bahwa Perdes yang diubah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum.
Apa yang Harus Dilakukan Desa?
1. Tinjau Peraturan Daerah dan Perdes
Desa perlu memeriksa Perbup atau Perda terbaru terkait pungutan dan kewenangan desa. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pungutan yang diambil sesuai dengan peraturan yang berlaku di daerah tersebut. Pasal 21 ayat (2) Permendagri 44/2016 menegaskan bahwa Peraturan Bupati/Walikota harus memuat kriteria kewenangan desa, termasuk dalam hal pungutan.
2. Konsultasi dan Koordinasi
Sebagai langkah bijak, desa bisa berkonsultasi dengan pemerintah daerah atau pihak berwenang untuk mendapatkan panduan lebih lanjut. Ini penting untuk memastikan bahwa penerapan pungutan tidak bertentangan dengan kebijakan yang ada. Prinsip keterbukaan dalam hukum administrasi mengharuskan adanya komunikasi yang jelas antara pemerintah desa dan masyarakat untuk mencegah arbitrariness, yaitu kebijakan yang sembarangan atau tidak jelas.
3. Sosialisasi kepada Masyarakat
Jika ada perubahan dalam kebijakan pungutan melalui Peraturan Desa, pemerintah desa harus menyosialisasikan informasi ini kepada masyarakat. Pasal 34 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menggarisbawahi pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka. Sosialisasi ini membantu agar warga desa memahami dan menerima perubahan kebijakan dengan baik, dan untuk menghindari abuse of power atau penyalahgunaan wewenang.
Usulan Revisi Permendagri 44/2016
Pasal 39 PP 43/2014 juncto PP 11/2019 memberikan kewenangan kepada Kementerian Dalam Negeri dalam konteks pengaturan mengenai Kewenangan Desa. Secara teleologis, ketentuan ini juga yang menjadi salah satu dasar pertimbangan sehingga kemudian Permendes 8/2023 dikeluarkan untuk mencabut Permendes 1/2015.
Dalam konteks pencabutan Permendes 1/2015 oleh Permendes 8/2023 inilah, terdapat kebutuhan mendesak untuk merevisi Permendagri 44/2016. Revisi ini diperlukan untuk menyesuaikan ketentuan terkait kewenangan desa dalam memberikan kejelasan BOLEH atau TIDAKNYA memungut biaya atas jasa layanan administrasi dan memastikan kepastian hukum bagi desa dalam mengelola pungutan desa. Revisi Permendagri 44/2016 diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum (void for vagueness) pasca pencabutan Permendes 1/2015 yang dapat menyebabkan ketidakjelasan dalam pelaksanaan pungutan di tingkat desa.
Dengan adanya Revisi Permendagri 44/2016 dapat memberikan kerangka hukum yang jelas bagi desa dalam menjalankan kewenangannya, mencegah terjadinya potensi penyalahgunaan wewenang, mengurangi potensi perbedaan interpretasi, memastikan semua pihak memahami batasan kewenangan desa, dan memastikan bahwa pungutan yang diberlakukan tidak memberatkan masyarakat. Dengan demikian, desa dapat mengelola sumber dayanya secara efektif, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
Kesimpulan
Meskipun ketentuan larangan pungutan yang sebelumnya diatur dalam Permendes 1/2015 telah dicabut oleh Permendes 8/2023, namun, penting untuk diingat bahwa desa tetap harus mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada seperti Permendagri maupun Peraturan Daerah/Peraturan Bupati. "Nullum crimen, nulla poena sine lege" — tidak ada kejahatan, tidak ada hukuman tanpa undang-undang. Ini berarti desa harus berhati-hati dalam memberlakukan pungutan agar tidak melanggar hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, dalam konteks ini pengaturan yang jelas melalui Permendagri/Perda/Perbup menjadi kunci untuk menghindari void for vagueness, yaitu kekosongan hukum yang dapat menyebabkan ketidakpastian dan potensi konflik.
Begitu juga dengan rancangan Perdes tentang Pungutan Desa harus benar-benar DIEVALUASI oleh pemerintah daerah untuk memastikan rancangan Perdes tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum.
Dengan pemahaman yang baik dan koordinasi yang tepat antara desa, pemerintah daerah, dan kementerian, pengelolaan pungutan dapat dilakukan secara efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Semoga artikel ini membantu memberi inspirasi dan memantik diskusi untuk desa-desa dan pihak-pihak terkait dalam upaya kita “menemukan hukum” dan menyikapi Pungutan Desa Pasca Pencabutan Permendes 1/2015.